Minggu, 10 Februari 2019

Resensi Novel Bilangan Fu; Perlawanan atas Eksploitasi Kecantikan Alam

Selaras ujaran Seno Gumiro Aji Dharma, "ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara," begitulah novel Bilangan Fu mengambil perannya. Melalui tokoh Yuda dan Parang Jati,  perjalanan pendakian gunung menjadi tidak sesederhana yang terlihat.

"Sebab, di sebuah batas, para pemanjat tak lagi menaklukkan dirinya, melainkan mengumbar nafsu kegagahan." (hlm. 345)

Tema clean climbing menjadi titik puncak metafor perlawanan seorang Ayu Utami di Bilangan Fu.

kekuatan metafor Bilangan Fu memenuhi hampir semua ranah fiksi. Sebut saja penggambaran sosok Parang Jati sebagai malaikat yang diturunkan untuk menyelamatkan kesucian daerah Sewugunung dengan perbukitan gamping Watugunung. Fisik Parang Jati diceritakan memiliki jari 12 sejatinya pentasbihan atas kelebihan yang dimilikinya. Selain kelahirannya yang misterius dan kemudian diangkat anak oleh seseorang yang juga penuh kontroversi, Suhubudi. Atau metafor lubang pada tebing Batu Bernyanyi sebagai Sebul.

Berbeda dari banyak novel lainnnya yang meskipun melakukan perlawanan namun tetap menempatkan fiksi sebagai dominasi cerita. Bilangan Fu secara lugas menuturkan tiap nama, kejadian, tempat dan waktu secara jelas.

Seperti perilaku militerisme yang menginjak-injak kebebasan bersuara dan hak asasi pada masa kepemimpinan presiden Soeharto. Boleh jadi ini menjadi nilai lebih Bilangan Fu. Namun akan membingungkan jika akhirnya harus dikategorikan sebagai karya sastra.

Padahal, tanpa menyebut merek sekalipun, pembaca sudah memahami siapa yang dimaksud. Berbanding terbalik dengan banyaknya kiasan di bagian kisah lainnya yang justru adalah fiksi semata. Unik.

Biangan Fu dibagi atas 3 bab. Ketiganya adalah simbol yang ingin dilawan oleh penulis yakni  modernisme, monoteisme dan militerisme.

Sebagai karya sastra yang sarat muatan ide, ia bebas berekspesi mendoktrin keyakinan lewat sang tokoh. Namun sebagai pembaca ada beberapa doktrin yang saya setujui. Namun di bagian lain saya tidak begitu sependapat.

Tentang menjaga keperawanan alam adalah hal yang paling saya amini. Sebab, kapitalisme telah menghalalkan semua hal demi tambang kekayaan yang tak habis tujuh keturunan. Namun sayangnya, upaya para pencinta alam lewat mimbar aksi tak mampu menghentikan buldozer pembantaian pertiwi. Dan saya menangkap hal tersebut tersirat di ending novel.

Membaca Bilangan Fu adalah menguliti diri sendiri. Sebab ada banyak hal yang menjadikan wujud kita hari ini ternyata adalah warisan leluhur. Diterima begitu saja tanpa sedikit saja terusik oleh naluri ingin tahu. Olehnya, spiritualisme kritis bertaruh untuk kewarasan akal budi manusia.

Hal lain yang tetiba mengusik saya yakni perihal gender. Sebenarnya saya tidak terlalu peduli pada isu gender termasuk di dunia sastra. Tetapi ketika menghadapi Bilangan Fu yang ditulis oleh novelis perempuan, saya mulai bimbang. Tokoh Marja justru diletakkan pada prototipe perempuan dalam kontek patriarki.

"Wajah Marja sungguh-sungguh pucat.... Aku bertanya ada apa, tapi ia hanya bilang bahwa ia tiba-tiba ketakutan dan ingin dikeloni," (hlm. 364)

Mengapa tidak mejadikan Marja sebagai perempuan buas. Atau justru demikian totalitas keberpihakan penulis atas budaya lokal yang terasa lebih menyayangi alam dan segenap ekosistemnya.

Tentang bilangan Fu sendiri yang menjadi judul novel, diakhir hanya diberi kesimpulan sebagai bilangan yang tertulis di segumpil batu endapan yang ditemukan di kantong kemeja Parang Jati saat tubuh itu telah kaku. Lalu penjelasan sebagai bilangan yang senantiasa menghasilkan satu tetapi bukan satu, saya pikir masih perlu penelaahan lagi.

Lepas dari pro kontra, Bilangan Fu telah memberi warna tersendiri terhadap rupa sastra Indonesia. Beragam hipotesa meruap-ruap dengan lincah dikedalamnya. Tak kurang kisah Nyi Rara Kidul, Babat Tanah Jawi,  legenda Sangkuriang, kerajaan Mataram, Tuyul Jahanam hingga perseteruan Polisi dengan TNI AD menyesaki Bilangan Fu.

Setelah lebih dari sepuluh tahun, Bilangan Fu tetap menyimpan ruang mistis yang belum tuntas terdedahkan oleh puluhan bahkan  ratusan ulasan maupun komentar pembaca. Selamat untuk penulisnya!

***

Judul: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Tahun: 2008
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

RUMAH BACA AL-GHAZI

RUMAH BACA AL-GHAZI