Tahun 2004 awal saya berkenalan dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Selatan. Saat itu, akan dilaksanakan acara launching antologi buku FLP Sumbagsel berjudul Ketika Nyamuk Bicara.
Saya sebenarnya tidak tahu acara tersebut jika saja seorang kakak tingkat di kampus tidak merekomendasikannya.
FLP Wilayah Sumsel diresmikan pada 22 November 2000 oleh Ketua Umum FLP Helvy Tiana Rosa. Beberapa inisiator FLP Wilayah Sumsel seperti Koko Nata, Azzura Dayana, Dian Rennuati serta Widodo Sigit sampai saat ini masih aktif di FLP.
"Ikutlah dek acara ini. Ada teh Pipiet Senja, penulis nasional. Nanti sekalian ikut FLP," ujarnya saat bertemu saya di sekret Pers Kampus.
Saya tidak langsung mengiyakan. Mengingat lokasi acara cukup jauh. Di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga kabupaten Ogan Ilir. Bukan di kota Palembang.
"Cari teman dulu, Kak." jawab saya.
Beruntungnya ada teman alumni Pesantren tersebut yang mau diajak. Jadilah saya beserta tiga teman nekad ikut acara yang tidak satupun panitianya kami kenal. Kakak yang merekomendasikan saya juga tidak ikut datang.
Dan alasan cinta saya terhadap FLP dimulai di titik ini.
1. Organisasi tanpa senioritas
Sejak dari mengikuti acara tersebut, kami (saya dan teman-teman) merasa kedekatan sebagai keluarga. Bahkansebelum saya resmi terdaftar sebagai anggota FLP. Saya bisa leluasa berdiskusi seputar kepenulisan, tanpa dianggap sebagai 'anak kecil.'
Senioritas yang mungkin biasa di organisasi lain, tidak saya temukan di FLP. Mereka yang lebih dulu di FLP atau yang lebih banyak berkarya tetap mengayomi kader yang baru. Iklim kompetesi dalam berkarya adalah semangat berlomba dalam kebaikan.
Tak heran organisasi yang berdiri pada 22 Februari 1997 ini kian berkembang dengan struktur organisasi hampir seluruh Indonesia yakni di 32 provinsi dan 12 cabang di luar negeri seperti Mesir, Hongkong, serta Jepang.
2. Penggerak literasi di Indonesia
Hampir bersamaan dengan kelahiran FLP, lahir pula banyak penulis cerita Islami. FLP adalah lokomotif cerita Islami. Melalui majalah, koran, buku hingga media daring meriah oleh tulisan anggota FLP. Semangat besar untuk berkarya adalah bukti nyata bahwa FLP bagian dari penggerak literasi di Indonesia.
Tak cukup hanya di situ, pengurus wilayah, cabang hingga ranting FLP semua bergiat melaksanakan pelbagai kegiatan seputar literasi. Kontinyu tanpa perlu menanti instruksi.
Di FLP Wilayah Sumsel proker yang dirancang guna menggairahkan literasi ada yang sifatnya internal anggota maupun bersifat umum seperti FLP road to school.
3. Mengkader penulis bermisi
Semua orang bisa menulis. Tapi tidak setiap tulisan membawa kebaikan. Sementara di FLP, setiap karya yang lahir haruslah membawa manfaat.
Untuk itu jenjang kaderisasi yang diterapkan di FLP berlandaskan tiga sifat. Keislaman, kepenulisan dan keorganisasian. Seperti termuat dalam Anggaran Rumah Tangga FLP Pasal 12 ayat 1.
Ketika seorang penulis memiliki pemahaman keislaman yang baik, minimal ia akan malu menulis sesuatu yang melanggar syariat.
Apakah keanggotaan FLP seluruhnya muslim? Tidak. Apapun agamanya, FLP tetap membuka diri. Bukankah pesan kebaikan juga ada di tiap agama?!
4. Terbuka untuk berkolaborasi
"Kakak dari FLP ya?" tanya admin salah satu komunitas literasi di Palembang melalui pesan di akun instagram saya.
"Iya. Ada apa?" jawab saya.
Berlanjutlah obrolan kami. Komunitas tersebut ternyata punya program literasi di Lapas Anak. Dan menawarkan saya untuk ikut berpartisipasi. Tentu saja saya merespon positif tawaran tersebut.
Begitulah, secara pribadi saya mendapat kesempatan untuk melakukan banyak hal bermanfaat setelah bergabung di FLP.
Pun sebaliknya, dengan aktif di FLP, saya ikut merancang dan melaksanakan perbagai kegiatan positif khususnya di bidang literasi.
FLP sebagai organisasi bercita-cita besar, tentu sangat mengapresiasi berbagai kolaborasi dengan banyak pihak. Semakin banyak komunitas, organisasi, kelompok yang memiliki kesamaan misi dan bekerjasama akan sangat baik.
5. Peduli pada kondisi bangsa dan agama
FLP adalah organisasi penulis dan pengkaderan penulis itu jelas. Tapi defenisi tersebut tidak membuat FLP secara struktural maupun individual abai terhadap kondisi sekitar.
Ketika ada isu kejahatan kemanusiaan maka FLP hadir dalam karya maupun bantuan nyata. Atau manakala terjadi kasus penistaan agama, FLP menujukkan keberpihakan dalam sebuah peryataan sikap.
Saat ini, setelah lima belas tahun di FLP, saya menyadari satu hal. Lebih dari kebutuhan berorganisasi. FLP adalah rumah bagi ide, jiwa serta ideologi saya.
Dari sejak saya masih kuliah hingga kini ibu rumah tangga dengan empat anak, FLP tidak berubah. Ah, demikian persaksian cinta saya padanya.
***
Tulisan ini dibuat dalam rangka lomba blog dari Blogger FLP pada rangkaian Milad FLP 22
Saya sebenarnya tidak tahu acara tersebut jika saja seorang kakak tingkat di kampus tidak merekomendasikannya.
bertemu saat masih gadis, kini saat punya anak tetap bersama |
FLP Wilayah Sumsel diresmikan pada 22 November 2000 oleh Ketua Umum FLP Helvy Tiana Rosa. Beberapa inisiator FLP Wilayah Sumsel seperti Koko Nata, Azzura Dayana, Dian Rennuati serta Widodo Sigit sampai saat ini masih aktif di FLP.
"Ikutlah dek acara ini. Ada teh Pipiet Senja, penulis nasional. Nanti sekalian ikut FLP," ujarnya saat bertemu saya di sekret Pers Kampus.
Saya tidak langsung mengiyakan. Mengingat lokasi acara cukup jauh. Di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga kabupaten Ogan Ilir. Bukan di kota Palembang.
"Cari teman dulu, Kak." jawab saya.
Beruntungnya ada teman alumni Pesantren tersebut yang mau diajak. Jadilah saya beserta tiga teman nekad ikut acara yang tidak satupun panitianya kami kenal. Kakak yang merekomendasikan saya juga tidak ikut datang.
Dan alasan cinta saya terhadap FLP dimulai di titik ini.
1. Organisasi tanpa senioritas
Sejak dari mengikuti acara tersebut, kami (saya dan teman-teman) merasa kedekatan sebagai keluarga. Bahkansebelum saya resmi terdaftar sebagai anggota FLP. Saya bisa leluasa berdiskusi seputar kepenulisan, tanpa dianggap sebagai 'anak kecil.'
Hangat sebagai keluarga |
Tak heran organisasi yang berdiri pada 22 Februari 1997 ini kian berkembang dengan struktur organisasi hampir seluruh Indonesia yakni di 32 provinsi dan 12 cabang di luar negeri seperti Mesir, Hongkong, serta Jepang.
kebersamaan tak terlupakan |
2. Penggerak literasi di Indonesia
Hampir bersamaan dengan kelahiran FLP, lahir pula banyak penulis cerita Islami. FLP adalah lokomotif cerita Islami. Melalui majalah, koran, buku hingga media daring meriah oleh tulisan anggota FLP. Semangat besar untuk berkarya adalah bukti nyata bahwa FLP bagian dari penggerak literasi di Indonesia.
Tak cukup hanya di situ, pengurus wilayah, cabang hingga ranting FLP semua bergiat melaksanakan pelbagai kegiatan seputar literasi. Kontinyu tanpa perlu menanti instruksi.
penggerak literasi |
3. Mengkader penulis bermisi
Semua orang bisa menulis. Tapi tidak setiap tulisan membawa kebaikan. Sementara di FLP, setiap karya yang lahir haruslah membawa manfaat.
Untuk itu jenjang kaderisasi yang diterapkan di FLP berlandaskan tiga sifat. Keislaman, kepenulisan dan keorganisasian. Seperti termuat dalam Anggaran Rumah Tangga FLP Pasal 12 ayat 1.
Ketika seorang penulis memiliki pemahaman keislaman yang baik, minimal ia akan malu menulis sesuatu yang melanggar syariat.
Apakah keanggotaan FLP seluruhnya muslim? Tidak. Apapun agamanya, FLP tetap membuka diri. Bukankah pesan kebaikan juga ada di tiap agama?!
4. Terbuka untuk berkolaborasi
"Kakak dari FLP ya?" tanya admin salah satu komunitas literasi di Palembang melalui pesan di akun instagram saya.
"Iya. Ada apa?" jawab saya.
Berkolaborasi dengan Rumah Dunia |
Begitulah, secara pribadi saya mendapat kesempatan untuk melakukan banyak hal bermanfaat setelah bergabung di FLP.
Pun sebaliknya, dengan aktif di FLP, saya ikut merancang dan melaksanakan perbagai kegiatan positif khususnya di bidang literasi.
FLP sebagai organisasi bercita-cita besar, tentu sangat mengapresiasi berbagai kolaborasi dengan banyak pihak. Semakin banyak komunitas, organisasi, kelompok yang memiliki kesamaan misi dan bekerjasama akan sangat baik.
5. Peduli pada kondisi bangsa dan agama
FLP adalah organisasi penulis dan pengkaderan penulis itu jelas. Tapi defenisi tersebut tidak membuat FLP secara struktural maupun individual abai terhadap kondisi sekitar.
Ketika ada isu kejahatan kemanusiaan maka FLP hadir dalam karya maupun bantuan nyata. Atau manakala terjadi kasus penistaan agama, FLP menujukkan keberpihakan dalam sebuah peryataan sikap.
Saat ini, setelah lima belas tahun di FLP, saya menyadari satu hal. Lebih dari kebutuhan berorganisasi. FLP adalah rumah bagi ide, jiwa serta ideologi saya.
cinta FLP kini dan nanti |
Dari sejak saya masih kuliah hingga kini ibu rumah tangga dengan empat anak, FLP tidak berubah. Ah, demikian persaksian cinta saya padanya.
***
Tulisan ini dibuat dalam rangka lomba blog dari Blogger FLP pada rangkaian Milad FLP 22
Keren
BalasHapusmakasih, mbak 😊
Hapus