Sabtu, 17 Februari 2024

Catatan Seorang Korsak Pemilu; Ada Romantis, Ada Miris

 "Namamu kumasukkan ke daftar korsak ya." Ini pemberitahuan, bukan pertanyaan atau minta pertimbangan.

Saya hanya mengangguk. Tentu suami ada alasan saya harus turun gunung. Ini bukan nepotisme. Justru karena tidak mudah mendapat kader partai yang bisa bertugas sebagai korsak (koordinator saksi).

Sebagai informasi, sebagaimana namanya, korsak bertugas mengkoordinir saksi yang berada di wilayah tanggungjawabnya. Korsak membawahi sepuluh saksi. Satu saksi untuk satu TPS. Jadi wilayah kerja korsak di sepuluh TPS. 

Pemilu 2004, pemilu pertama yang saya ikuti dan langsung menjadi saksi. Kala itu, saya masih berstatus sebagai mahasiswa akhir. 

Pemilu 2009, saya tetap menjadi saksi. Terlebih karena memang sudah aktif sebagai anggota partai politik.

Pemilu 2014 dan 2019 karena telah menikah, pindah domisili, hingga memiliki bayi, dua Pemilu ini saya absen jadi saksi.  

Pemilu 2024, setelah 20 tahun berlalu, saya kembali ke lapangan dan dengan tugas yang lebih menantang. 

Jika sebagai saksi saja, seseorang harus mengawal pelaksanaan proses pencoblosan hingga perhitungan suara dengan sangat teliti. Dimulai dari saat TPS dibuka pukul 07.00 hingga memastikan surat suara dan berkas-berkas dari KPPS diserahkan dengan aman ke PPS. Maka, korsak tentu lebih rumit.

H-1 Pemilu 

Setelah mendapatkan nama dan nomor gadget sepuluh orang saksi di bawah koordinasi saya, dibuat grup whatsapp saksi. Ketika dilaksanakan pelatihan saksi pada Minggu (11/2), ada dua saksi yang ternyata mengundurkan diri. Dari semua saksi, hanya satu orang yang saya kenal. Selebihnya orang yang baru saya temui meskipun kami tinggal di satu desa. 

Karena tersisa hanya dalam satu, dua hari, saya berupaya membangun komunikasi yang hangat. Bagi saya, saksi adalah pejuang di garis terdepan menjaga amanah suara dari rakyat. Tanggungjawabnya tidak kecil. 

Belajar dari pengalaman, saya mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi di lapangan. Membuat strategi mengkondisikan anak-anak termasuk yang utama. 

"Bapak Ibu para saksi, jaga kesehatan. Jangan bergadang. Pastikan kita semua dalam kondisi sehat dan bugar besok saat harus bertugas," pesan suara saya di grup saksi. Meski faktanya saya sendiri baru bisa tidur hampir jam 2 malam. 

Pemilu kelima

14 Februari - Pemilu 2024

05.00 WIB

Bangun tidur, menyiapkan anak-anak, membuat sarapan, sembari terus memantau grup saksi. Memastikan semua saksi sudah hadir sebelum pembukaan TPS agar dapat menyaksikan semuanya terlaksana sesuai aturan. 

08.00 WIB

Mengantarkan anak-anak ke rumah orang tua, dan lanjut k TPS 02 untuk menunaikan hak sebagai warga negara.

"Jumlah DPT sekian. Jumlah surat suara sekian." "Surat suara DPR RI lebih sekian." "Surat suara Pilpres kurang sekian." Berbagai laporan saksi di lapangan memenuhi chat grup.

11.00 WIB

Saya sudah pesan makan siang untuk saksi. Hanya saja karena ada agenda breafing korsak di tempat yang cukup jauh dari lokasi TPS, jadwal pengantaran makan siang sedikit terlambat. Pukul 12 lewat saya baru keliling ke sepuluh TPS. 

"Bapak Ibu para saksi, saya intuksikan untuk tidak meninggalkan TPS apapun yang terjadi. Saya akan mengantarkan konsumsi ke TPS masing-masing. Untuk ke izin ke kamar mandi atau sholat bisa bergantian dengan saksi partai lain atau panwas TPS." Lagi-lagi pesan suara saya mengingatkan agar saksi tetap fokus. 

Jam dua belas keatas adalah jam rawan karena jadwal untuk pemilih di luar DPT. Ini bisa jadi celah pemilih bayaran yang bisa diantisipasi oleh saksi. Pukul tiga belas dan seterusnya menjadi waktu menegangkan karena dimulai perhitungan suara.

Wajah pukul 8:37 WIB usai memilih

17.00 WIB

Menjelang magrib, rata-rata tiap TPS baru dua kotak suara yang dibuka dan dihitung. Atas kesepakatan bersama, TPS ditutup sementara untuk ishoma. Karena tempat pesan tadi siang kehabisan nasi, saya harus keliling membeli makan malam. Sudah lebih 6 KM keluar, setiap tempat jual nasi semuanya habis. Berkah tersendiri untuk pedagang.

Bersyukur akhirnya tetap dapat rumah makan yang masih ada lauknya, tapi nasinya harus menunggu masak dulu. Tak apalah daripada tidak bisa makan.

Sambil mengunjungi tiap TPS, saya memperkirakan waktu penyelesaian perhitungan suara. Sesekali saya ikut menemani saksi. Sesekali fokus memantau grup saksi maupun grup korsak. 

23.00 WIB

Baru ada dua TPS yang menyelesaikan perhitungan suara. Saya langsung ke salah satu TPS, ingin memastikan tidak ada keberatan saksi atas perhitungan dan saksi menandatagani semua berkas yang dibutuhkan. Serta terpenting saksi mendapat berkas C-hasil yang asli.

"Bunda, Shafiyyah nangis," telpon tetangga saya.

Mau tidak mau saya harus pulang dulu. Biasanya saat terbangun malam, Shafiyyah langsung saya elus-elus jadi bisa tidur lagi. Sampai di kamar, saya melihat anak 2 tahun itu masih terisak, secepatnya saya peluk.

"Maaf ya... Bunda tadi masih di luar." Cukup lama kami berpelukan. Setelah agak tenang, saya tawarkan ia minum. Alhamdulillah drama malam tidak lama. Shafiyyah kembali lelap. Saya lanjut tugas lagi.  

Wajah pukul 21:37 WIB keliling TPS

00.00 WIB (15 Februari 2024)

Hujan deras. Beberapa anggota KPPS bersegera menyelamatkan kotak suara dan berbagai berkas. Sementara proses administrasi terus berlangsung. 

"Jadi kita gimana?" tanya saya ke suami.

"Ya, keluar."

"Tapi hujan deras. Pasti kuyub."

"Kalau nunggu hujan reda, kayaknya akan lama. Khawatir makin malam, justru tidak bisa kemana-mana. Yang penting amankan C-hasil, Pastikan tidak basah."

Setelah memasukkan C-hasil kedalam plastik. Saya dekap tas di dada, di balik jilbab. Dini hari di bawah hujan deras, untuk pertama kali setelah memiliki anak, saya dan suami boncengan motor hanya berdua. Menyusuri jalan desa satu-satuya tanpa lampu jalan. Melewati rumah warga yang sudah tertutup rapat, melawati kebun karet yang membisu, melewati  lapangan bola yang gulita. 

"Ya Allah, ridhio perjuangan ini. Ridhoi dan berkahi semua ikhtiar kami," pinta saya disela istigfar dan sholawat. 

02.00 WIB

Karena kelelahan, suami tertidur dengan kondisi gadget yang masih terbuka. Tadi ia masih memantau tim tabulasi. Rasa lelah dan mengantuk sekuat tenaga saya lawan. Rasa-rasanya tidak tega untuk tidur, sementara para saksi masih berjuang di TPS masing-masing.

Saya terus koordinasi. Menanyakan kondisi di lapangan. Di luar, hujan mulai reda. Inilah definisi menunggu yang tak pasti. Hampir tiap lima menit saya melihat gadget. Memastikan tidak ada chat yang terlewat saya balas. Saya juga sempat mengirim pesan suara untuk  menguatkan semangat para saksi. 

Wajah pukul 06.30 WIB keesokan harinya

05.00 WIB 

Usai sholat subuh, saya langsung menggendong Shafiyyah yang baru bangun. Kami mencari sarapan ala kadarnya untuk kembali keliling TPS. Tiga TPS sudah selesai urusan C-hasilnya. Pagi ini menyelesaikan sisanya. 

"Betapa mahal harga Pemilu. Menguras tenaga, pikiran, jiwa dan raga seluruh rakyat Indonesia," ujar saya menyaksikan wajah-wajah lelah yang tak sempat sekadar memejamkan mata. "Sungguh zalim pemimpin yang ketika diberi amanah tetapi khianat. Tidakkah ia melihat begitu banyak rakyat yang berkorban untuk sebuah legalitas jabatannya."

Saya cek satu persatu berkas yang diserahkan para saksi. Bertanya beberapa hal yang memang penting saja. "Baik, sudah lengkap semua. Terima kasih ya."

"Iya, bu."

Saya menatap tubuh lunglai itu menjauh. Andai bisa, ingin rasakanya memeluk mereka erat. Ucapan terima kasih dan ganti transport yang tak seberapa tidaklah sebanding dengan semua yang telah mereka dedikasikan. 

09.00 WIB

Tiba di rumah, saya hanya ingin tidur. Urusan makan siang nanti biarlah beli saja. Semua berkas C-hasil saya titip ke suami yang langsung menuju posko tabulasi. Sebelum memejamkan mata, saya menyempatkan mengirim pesan suara ke grup saksi. "Semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu."



  


Share:

1 komentar:

  1. MasyaAllah perjuangan banget. Aq yakin teman2 Kpps, korsak dan yang lainnya udah berjuang dengan sepenuh hati. Totalitas dan jujur. Semoga mereka yang diatas juga begitu ya.

    BalasHapus

RUMAH BACA AL-GHAZI

RUMAH BACA AL-GHAZI