Minggu, 11 Februari 2024

Anak-anak Nonton Debat Capres, Emang Boleh?

"Tadi aku ditanya si Ini, kau pilih apa?" Pulang bermain, kak Mush'ab menemui saya. 
"Kujawab, A." 
"Kalau aku B." 
"Kenapa pilih A?" 
"Ayah-bundaku pilih A. A itu gini, gini...." Saya menyimak cerita kakak. 

 "Bunda, di sekolah, bu guru juga nanya?" 
"Nanya apa?" Saya siap-siap mendengar lebih serius. Turut penasaran bagaimana guru di sekolahnya mengajak anak-anak diskusi tentang politik. 
 "Ya nanya capres. Ada yang pilih A, ada B, ada C." 
"Lho kalian kan belum milih?" 
"Orang tuanya, bun." 
"Trus?" 
"Kami gantian nanya, ibu milih apa? Kata ibu guru, rahasia." 
"Trus apa lagi?" 
"Ya sudah." Saya menghela napas. Kurang seru. 

Padahal, menurut saya obrolan tersebut bisa digali lagi. Anak kelas 5 SD sudah cukup bisa diajak berpikir kritis. Setidaknya ditanya pendapat atau perasaan mereka melihat keriuhan kampanye. Apa yang mereka suka atau tidak suka terhadap figur capres cawapres. Apakah di rumah orang tua mereka ngomongin seputar Pemilu. Pertanyaan yang sesuai tahap perkembangan kognitif anak.
sumber foto: Antara

Di keseharian, saya melihat anak-anak sangat dominan menurunkan persepsi politik orang tua. Bahkan ketika anak tersebut sudah memiliki hak pilih yakni di usia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Persepsi politik akan lebih bervariasi ketika semakin banyak pengetahuan dan pemahaman politik seorang anak. 

Kalau di rumah, kami membicarakan politik sama dengan halnya seperti membicarakan ekonomi, pendidikan, sosial dan sebagainya. Bukan sesuatu yang luar biasa atau sensitif. Tapi memang di pekan-pekan belakangan, anak-anak lebih antusias membahas politik. 

 "Aku tidak sabar lagi mau tanggal 14," kata Raihan (9 tahun).
 "Memangnya kenapa?"
 "Ya mau tau, siapa presiden kita." Saya senyum-senyum mendengar jawaban siswa kelas 3 SD itu. 

Saya membayangkan mereka akan mengganti foto capres dan cawapres yang ada di depan kelas. 
"Han, Pemilu kan bukan hanya milih presiden. Nanti akan ada lima kertas suara." 
Saya mulai memaparkan mata kuliah kewarganegaraan 3 SKS. Tentang tugas DPR, siapa saja anggota DPR, bagaimana posisi partai politik, ada juga DPD, dan seterusnya. 

Sejauh ini mereka bisa menyimak. Dan ngobrol politik juga bisa asyik. Saya pikir, jika pola pendidikan politik di ruang kelas bisa sesantai ini, seharusnya sikap apatis terhadap praktik politik praktis bisa dikikis. 

Bukan hanya lembaga pendidikan, lembaga keluarga juga harus bisa menyeimbangi berbagai informasi negatif terkait politik. Kemudian yang juga lebih penting adalah iktikad baik partai politik dan aktifisnya. Sejatinya, parpol memberikan ruang lebih luas terhadap pendidikan politik. Bukan semata organisasi yang mengakomodir kepentingan politik sekelompok golongan. 

Sementara, aktifis parpol baik pengurus serta anggota juga diharapkan dapat menampilkan perilaku dewasa dalam berpolitik. Menjadikan politik praktis sebagai salah satu cara berkontribusi terhadap kebaikan bangsa. 

 Anak-anak ikut menonton debat capres cawapres menurut saya adalah bagian dari fasilitas yang bisa dimanfaatkan orang tua atau guru untuk memberi pemahaman politik yang baik. Kedepan, anak-anak diharapkan bisa menjadi warga negara yang sadar hak politiknya dan menggunakannya dengan bijak.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

RUMAH BACA AL-GHAZI

RUMAH BACA AL-GHAZI