Suatu ketika, di masa lalu, saya pernah meminta. "Ya Allah
berikanlah aku sebuah kehidupan yang baru." Do'a yang sangat tidak
spesifik. Mungkin juga tidak penting. Atau bahkan sangat tidak mendesak. Lalu
dari mana ide do'a tersebut. Gegara saya suka baca buku yang mengisahkan
tentang traveling. Orang yang sering atau hobi traveling akan selalu singgah di
tempat-tempat baru. Bertemu dengan banyak orang yang belum dikenal. Beradaptasi
dengan lingkungan yang asing. Artinya kehidupan yang senantiasa baru.
Karena permintaan tersebut sekedar luapan emosi sejenak, saya juga
tidak terlalu ngotot memohon. Toh, sebuah kehidupan yang baru versi saya itu
seperti apa, saya juga tidak punya diskripsi yang jelas.
Tapi di sinilah bukti Kemahahebatan Allah. Ia tetap mengabulkan
sesederhana apapun doa hambanya. Meski wujud keterkabulan doa bisa sangat
berbeda-beda. Dan jadilah saya dipilihkan kehidupan baru yang berbeda dengan
sebelumnya lewat pernikahan.
Bersyukur tentu saja. Sebab hingga lima tahun berdiam di desa ini,
semakin banyak hal yang membuat saya tertantang untuk mengungkapkannya.
Benarlah bahwa Allah menciptakan manusia berbeda lingkungan dan kebiasaan guna
untuk saling memahami. Selain kebiasaan, cara hidup dan sederet fenomena
sosial, orang di sekitar juga bagian dari tantangan tersebut.
Sebenarnya rumah kami hanya berkelang satu rumah tapi butuh waktu lama
untuk saya bisa melihat wajahnya. Iya, dia tetangga saya. Anggap saja namanya
Melati, seorang gadis kisaran usia 26 tahun.
"Kenapa sich penasaran bener dengan si Melati?" Reaksi
suami ketika saya bilang kapan bisa ketemu dia. Di pagi hari saat saya
baru akan membuka gorden, mungkin baru pukul setengah enam, deru mobil sedan
putihnya telah melewati depan rumah. Dan nanti sore, beberapa detik menjelang
adzan magrib barulah terdengar kembali klakson mobilnya saat membuka pintu
pagar. Pada beberapa kesempatan, hampir cukup malam si tetangga pulang.
"Bukan masalah penasaran. Tapi kan tetangga sebelahan rumah
kok gak kenal."
Begitulah hingga setahun lebih tak satu kalipun saya bersitatap
dengan si gadis. Hari ahad atau hari libur pun tak pernah nampak walau sekedar
bayangannya semisal menyapu halaman atau sekedar ngombol sore dengan tetangga.
"Teeet..." klakson sedan putih. Saya tengah membersihkan
halaman rumah bersama anak-anak.
"Nah itu, dia menyapamu," sergah suami dari balik
rerimbunan pohon pisang sebelah rumah.
"Masa sich?"
"Lah trus dia klaksonin siapa kalau bukan kamu."
Saya cuma mengangkat alis. Saya kan bukan mau melihat mobilnya tapi
wajahnya. Mana saya bisa liat raut mukanya kalau dari kaca tebal jendela mobil
yang selalu bersih itu.
Mengenal Melati menjadi misteri yang belum terselesaikan. Hingga
saat kami berbuka puasa di rumah orang tua, tema itu kembali dibahas.
"Sering kok sholat tarawih di masjid. Ia selalu di sebelah
ibunya. Pakai mukena coklat. Biasanya di barisan dekat tiang dekat pintu
keluar." Penjelasan ibu mertua saya sangat lengkap.
Tiba-tiba saya pun jadi bingung. Betapa saya ingin mengenal Melati.
Bukankah itu tidak terlalu penting. Ia sulung dari dua saudara yang semuanya
perempuan. Adiknya SMA dan hampir serupa sebab hanya terlihat sesekali saat
melintas di depan rumah. Bedanya adik Melati mengendarai motor, meski hanya
sepintas masih bisa melihat wajahnya.
Kedua orang tuanya bekerja yang pergi
pagi dan pulang senja. Jarang atau bahkan tidak pernah bergaul dengan tetangga.
Maka lengkaplah sudah. Saya hanya bisa menatap rumah besar itu tanpa pernah
ngobrol dengan penghuninya. Dan saya pikir sesama anggota keluarga pun tidak
terlalu sering bercengkrama. Tapi ya... entahlah, saya hanya melihat dari balik
tembok rumahnya. Tidak cukup mengenal sosok mereka.
Lalu tentang Melati, mungkin itu juga alasan saya ingin
mengenalnya. Saya merasa aneh jika tidak saling mengenal pada tetangga. Ini desa yang ikatan sosialnya
masih kuat. Bukan kota metropolitas yang individualistis. Tetapi mengapa seolah
ada pemisah atau justru ia memisahkan diri.
"Mbak," sapa seorang perempuan muda di sebelah saya. Kami
saling mengulurkan tangan, bersalaman usai sholat tarawih.
Lalu disampingnya seorang ibu, pun kami bersalaman. "Aktif
ya," komentar si ibu melihat saya mengusap keringat di kelapa Raihan. Si
adek seolah tak pernah lelah bermain dengan sesama jamaah anak-anak.
"Iya." Jawab saya singkat karena masih berpikir siapa
lawan biacara saya.
Yap, ini Melati dan ibunya. Saya mengingat penjelasan malam
kemarin. Tidak salah lagi. Saya sholat tarawih bersebelahan dengan Melati.
Sayangya, saya belum sempat ngobrol karena kesadaran itu datang
setelah jamaah di masjid bubar. Kalau begitu esok saya akan berusaha bisa duduk
di sebelahnya lagi. Wah semoga saya bisa ngobrol cukup lama.
Saya pulang malam itu dengan perasaan berbeda. Laksana seorang
detektif yang berhasil menyelesaikan sebuah kasus pelik. Butuh obrolan lebih
sering agar bisa lebih dekat dengan Melati. Niatnya tentu saja ingin menjalin
silaturahim. Dan bukan hanya karena kami tinggal di desa, sejatinya Islam
sangat menganjurkan berbuat baik kepada tetangga. “... Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, ibu-bapak, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu.” (Qs AnNisa: 36)
Ada hak tetangga yang harus dipenuhi dan hak sesama muslim. Bagaimana
mungkin hak tersebut tertunai jika tak saling mengenal. Ketika terjadi sesuatu pada
keluarga saya, bukankah tetangga sebelah rumah yang diharapkan dapat segera membantu.
Pun sebaliknya. Dan boleh jadi, tetangga menjadi wasilah kebaikan kita yang
mendapat keridhoan Allah.







0 komentar:
Posting Komentar