Percaya deh, Tuhan itu Maha Adil. Cara membuktikannya dengan
selalu berbaik sangka. Apapun yang terjadi pasti atas izin sang Kuasa.
Puasa hari pertama ditemani hujan syahdu, siang hingga sore. Puasa
hari kedua hujan masih setia menyapa. Mulai siang sampai malam beranjak gulita.
Hening. Bening. Berbaik sangka saja bahwa Allah sedang menunjukkan kasih
sayangnya. Bukan masalah batal hadir berbuka puasa bersama teman, rekan atau
keluarga besar. Bukan pula tentang berbuka sembari kebanjiran. Atau setumpuk
kekesalan yang dialamatkan pada sang hujan.
Saya menikmati melodi air hujan yang berjatuhan. Ke tanah, ke penampungan
air, ke dedaunan, ke atap rumah. Riuh yang menentramkan. Enam buah pisang lilin
sudah digoreng. Menu berbuka. Anak-anak pun sudah mandi sore dengan air hangat.
Kakak tiba-tiba menyongsong saya, "Nda, ada orang ke rumah
kita."
"Iya apa, Kak? Siapa?"
Saya diisyaratkan untuk juga mengikuti anak itu melonggok lewat
jendela. Tak terlihat wajah sag tamu karena posisinya membelakangi. Pastinya
perempuan berjilbab.
"Oh iya," sahut saya atas panggilan di balik pintu.
Seorang ibu, tetangga yang rumahnya lumayan jauh dari kami.
"Mau beli ikan gabus, ndak?" Ia mengulurkan sekantong
ikan yang katanya seberat satu kilo sembilan ons.
Saya bingung harus menjawab apa. Tidak ada uang di rumah. Bahkan
untuk menitip ke suami agar dibelikan lauk saja saya tidak berani. Karena isi dompet tinggallah bermacam kartu identitas dan kartu berobat. Rahasia bersama di tanggal tua.
"Bang, beras habis." Kalimat yang mau tidak mau harus
saya laporkan.
"Habis bener?"
"Iya." Jawab saya yang menandakan kebutuhan tersebut
tidak bisa ditunda.
Tapi, saya tidak punya waktu untuk galau. Ibu di luar itu sedang
menunggu keputusan saya.
"Wah ada gak ya uangnya." Ungkap saya sambil mengingat
adakan 'uang lain' yang memungkinkan bisa digunakan dulu.
"Berapa?"
"Sekilonya tigapuluh ribu."
Sempat terlintas komentar Emak mertua, "mahal kalau tigapuluh.
Sama kayak harga di kalangan.” Ketika dulu saya cerita membeli ikan dengan
tetangga seharga demikian. Tapi ah sudahlah, anggap saja sedekah. Mungkin ia
sedang sangat membutuhkan uang.
Ada uang saldo pulsa di laci. Dua lembar dua puluh ribu dan
selembar sepuluh ribu. Masih kurang tujuh ribu untuk membayar harga ikan.
"Nah adanya 50 ribu. Nanti kurangnya dititip pas ngaji."
"Oh iya dak papa." Kebetulan anak ibu itu ikut mengaji di
rumah kami tiap sore. Berharap besok sudah ada uang tambahannya agar segera
melunasi hutang.
Tanpa menawar. Tanpa memastikan timbangan. Dan hanya sekilas
melihat ikan yang dijual. Hanya butuh waktu beberapa menit transaksi selesai.
Untuk saat ini, saya melupakan semua prinsip manajemen keuangan keluarga.
Meski sebenarnya butuh lauk, dalam kondisi nihil uang harusnya saya
menolak tawaran tadi. Toh anak-anak bisa makan dengan persediaan telur yang
tersisa 2 butir. Saya dan suami masih ada sedikit sambal ikan masakan kemarin.
Untuk sayur bisa memetik kangkung atau katu di belakang rumah. Tentu saja itu
sangat menghemat pengeluran dan tidak perlu berhutang.
Jadi ingat artikel yang pernah saya baca di sosmed. Salah satu kesalahan
bagi pebisnis (biasanya pemula) adalah menggunakan uang usaha untuk kebutuhan
pribadi. Jika tidak dipisahakan antara uang usaha dengan uang pribadi, usaha
akan sulit berkembang. Harus jelas sirkulasi keuangan. Jelaslah, apa yang saya
lakukan sangat bertentangan dengan teori tersebut.
Sebenarnya sayapun termasuk orang yang malas berususan dengan
hutang-piutang. Tapi kali ini saya
berhutang dua kali. Hutang ke uang usaha, juga hutang ke ibu tadi. Saya hanya
berpikir bahwa si ibu sangat berharap ikannya bisa laku dan ia mendapatkan
uang. Jika saya menolaknya dengan alasan tidak ada uang, tentu akan ada rasa
sedih. Kemungkinan besar ia akan menawarkan pada yang lain. Membayangkan saya
di posisinya, harus mengetuk pintu rumah orang di saat hujan menjelang
waktu berbuka, ah saya tidak sanggup.
Tentang hutang itu, bukankah saya masih punya Allah yang Maha Kaya
dan Pemurah. Jika seekor nyamuk saja dijamin rizkinya, apalagi manusia. Dan
tentu bukan tanpa alasan Allah menggerakan langkah si ibu ke rumah kami. Semua
takdirNya.
"Bersyukur ia mau ke sini. Allah memberi kesempatan untuk jadi
perantara rizki bagi orang lain. Siapa tahu ada doa kebaikan dari si ibu. Atau
kalaupun tidak, tetap ada Allah yang akan membalas sekecil apapun
kebaikan." Batin saya mengikhlaskan semuanya.
Saya iringi kepergian ibu itu dengan setulus senyum. Ketika
ikan-ikan telah saya masukkan dalam ember cukup besar, saya bergegas mencari
handphone.
"Tadi ada ibunya.... bla...bla," saya ceritakan semua
kejadian ke suami.
"Jadi?"
"Ya... jadinya kita sudah ada lauk."
"Alhamdulillah."
"Abang belum mau pulang?"
"Belum bisa pulang. Di sini masih hujan deras."
Ditemani duo bocil saya menyiangi dua ekor ikan yang sudah mati.
Selebihnya, entah berapa ekor masih hidup. Masih bisa disimpan untuk
besok-besok dan dibagi ke Nyainya anak-anak.
"Bunda cecel pakai sambal. Adek cecel pakai kecap." Ujar
Raihan saat kami berbuka puasa.
Saya menggorengkan tiga potong ikan tanpa bumbu. Anak-anak suka
nyemil ikan goreng.
"Bunda sudah?" Tanya kakak.
"Sudah. Dua potong pisang dan sepotong ikan, kenyang."
Berhenti mencari kenikmatan hidup karena hidup itu sendiri adalah
nikmat yang telah ditemukan. Dan bukalah pada limpahan materi muara kedamaian
jiwa namun kedamian jiwa yang sering kali mengalirkan materi yang berlimpah.
Di luar, hujan masih menjatuhkan jutaan titik air. Menumbuhkan
segala ada yang di bumi. Allahumma shayyiban naafian. Hujan di hari-hari
bulan Ramadhan adalah limpahan keberkahan. Berharap, iapun menumbuhkan rasa
syukur pada apa dan bagaimanapun ketentuan Tuhan atas diri ini. Aamiin







Umi..
BalasHapusTulisannya membangun pikiran-pikiran positif..
Salam dari kami..
Alhamdulillah.
HapusTerima kasih. Salam ukhuwah
Tulisan yang bagus...
BalasHapusAlhamdulillah.. Masyaallah.. Inspiratif.. 😊
BalasHapusAlhamdulillah. Jazakillah sudah membacanya
Hapus